Orang Asmat lebih maju dibanding
suku-suku lain di tanah Papua. Mereka sering menjadi duta bagi Indonesia di
mancanegara yang menunjukan kebolehannya.
Papua adalah propinsi paling timur
Indonesia yang menyimpan kekayaan alam dan budaya. Dengan luas sekitar empat
ratus dua puluh ribu kilometer persegi, Papua menjadi pulau terbesar kedua di
dunia setelah Greenland. Selain luas, Papua juga berlembah, sebagian rawa- rawa
dan hutan lebat.
Transportasi sampai detik ini masih
menjadi masalah untuk menghubungkan satu tempat ke tempat lain, sehingga sungai
memegang peranan penting sebagai salah satu sarana angkutan. Seperti Sungai
Membramo atau Digul yang merupakan salah satu sungai terbesar.
Bagi sebagian suku, sungai adalah
kehidupan. Sungai yang membawa mereka dari satu ke tempat lain. Dari sungai
mereka juga menggantungkan hidup, seperti mencari ikan dan keperluan lain. Ada
beratus – ratus suku yang tersebar di wilayah pegunungan lembah dan pantai.
Asmat juga identik dengan pahatan
patung Mbisnya. Tradisi yang sudah ada turun-temurun, yang memiliki nilai
sacral dalam kehidupan masyarakat suku asmat itu sendiri. Patung yang berbentuk
wujud manusia ini melambangkan sosok nenek moyang mereka, sehingga
patung-patung ini dianggap sacral oleh
2. Legenda Fumeripits
Patung dan memahat adalah bagian
penting dalam kehidupan orang Asmat. Legenda suci orang Asmat menyebutkan,
orang Asmat berasal dari kayu yang dipahat menyerupai wujud manusia dan
akhirnya hidup menjadi orang Asmat.
Dikisahkan, leluhur orang Asmat yang
bernama Fumeripits dihidupkan kembali oleh seekor burung bertuah setelah ia
terdampar di muara sungai di kawasan Asmat. Ia terlunta-lunta dan mengembara
seorang diri, sampai saat ia membangun rumah bujang (jew) dengan bentuk
memanjang.
Untuk mengisi kesendiriannya,
sepanjang waktu Fumeripits memahat patung, hingga puluhan patung manusia
dibuatnya. Suatu ketika, ia membuat tifa, alat perkusi tradisional Asmat.
Ketika ia bernyanyi dan menabuh tifa, puluhan patung pahatan Fumeripits berubah
wujud menjadi manusia, cikal bakal orang Asmat.
Fumeripits melanjutkan
pengembaraannya di pesisir selatan Papua dan masuk ke hulu sungai besar di
kawasan itu. Di setiap persinggahannya, Fumeripits kembali membangun jew dan
memahat patung manusia. Setiap ia bernyanyi dengan menabuh tifa, patung itu
kembali menjadi manusia yang menurunkan suku Asmat yang sekarang kita kenal
tersebar di pesisir selatan Papua.
Keturunan Fumeripits inilah yang
kemudian menjadi wow-ipits atau wow iwir, para pemahat Asmat. Anak turunan
Fumeripits menjadi cikal bakal pengukir Asmat, yang secara turun-temurun
mengulangi kembali apa yang dikisahkan dalam legenda suci Fumeripits.
Legenda itu menggambarkan bahwa
patung dan memahat adalah suatu yang memiliki nilai sakral bagi orang Asmat.
Arwah setiap orang Asmat yang baru meninggal diyakini sedang melakukan
perjalanan jauh menuju surga, yang dalam bahasa Asmat disebut safar. Kehidupan
di antara kehidupan dunia dan kehidupan surga itu adalah dunia roh yang disebut
dampu ow capinmi.
Dalam bukunya, Realitas di Balik
Indahnya Ukiran, pemerhati budaya Asmat, Dewi Linggasari, menuliskan, "Roh
yang tinggal di dampu om capinmi adalah penyebab penyakit, penderitaan, gempa
bumi, dan peperangan. Orang yang masih hidup harus menebus roh-roh ini dengan
membuat pesta dan ukiran (yang diberi nama sesuai dengan nama orang yang
meninggal) agar roh itu dapat memasuki safar".
Mengukir patung dan menamainya
dengan nama orang yang telah meninggal sama halnya dengan membekali roh orang
Yunani dengan dua keping uang emas untuk membayar pendayung perahu yang akan
membawa roh itu ke surga. Demikian selama ratusan atau bahkan ribuan tahun anak
cucu Fumeripits terus memahat patung untuk mengantarkan roh kerabatnya
berpulang ke safar.
Dapat dipahami jika seorang pemahat
memiliki status sosial istimewa di antara orang Asmat. "Status sosial
orang Asmat tidak didasarkan garis keturunannya, tetapi atas kemampuan yang
bersangkutan. Jika seseorang yang tidak bisa mematung banyak bicara, omongannya
tidak akan didengar. Bagi kami, orang yang tidak bisa mematung tidak tahu
apa-apa," kata mantan kurator Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat,
Jevensius Biakay.
3. Guncangan modernisasi
Saat ini, seni pahat Asmat yang
dinaungi mitologi Fumeripits itu pun tidak luput dari guncangan modernisasi.
Mgr Emeritus Alphonse Sowada OSC adalah saksi betapa pada akhir tahun 1970-an
orang Asmat merasa memahat adalah sesuatu yang ketinggalan zaman, kuno, dan
tidak modern.
"Dahulu orang Asmat berperang,
dan sentuhan dengan budaya luar itu membuat peperangan berakhir. Di satu sisi,
(perkembangan peradaban membuat mereka berhenti berperang) karena berhenti
berperang, anak adat Asmat tidak lagi memandang perisai sebagai sesuatu yang
penting. Masuknya budaya asing juga membuat anak Asmat melupakan (perkakas)
adat karena mereka memakai piring. Saat itu, budaya Asmat nyaris
ditinggalkan," kata Sowada.
Untuk mempertahankan tradisi
mematung, Sowada pun menggagas Pesta Budaya Asmat pada tahun 1981. "Agar
mereka mengukir. Awalnya, kami sekadar meminta mereka membuat ukiran, lalu kami
beli. Sampai akhirnya timbul gagasan pesta budaya," katanya lagi. Adalah
jasa Sowada jika hari ini orang masih bisa melihat Adam Saimas dan pemahat muda
seperti Primus Oambi mencurahkan segenap keahlian memahat mereka.
Di sisi lain, legenda orang Asmat
sebagai orang yang suka mengayau membuat para kolektor benda seni mencari
segala sesuatu yang berhubungan dengan budaya mengayau.
Hilangnya anak jutawan Amerika
Serikat, Michael Rockefeller, saat melakukan sejumlah penelitian di Asmat
semakin membuat kebudayaan Asmat menjadi misteri yang menarik minat. Satu demi
satu kurator seni dan antropolog dari berbagai penjuru dunia berdatangan.
Pergesekan dengan orang luar membuat
patung Asmat berubah dari perangkat ritual menjadi barang yang memiliki nilai
ekonomi. Mematung tidak lagi berhenti sebagai sebuah ritual untuk mengantarkan
arwah leluhur mencapai safar, tetapi juga menjadi sumber penghidupan orang
Asmat.
Sejak tahun 1700-an, suku Asmat di
Papua telah dikenal dunia dengan keterampilan mengukirnya. Kesenian mengukir di
asmat merupakan aktualisasi dari kepercayaan terhadap arwah nenek moyang yang
disimbolkan dalam bentuk patung serta ukiran. Namun dalam perkembangannya,
ukiran-ukiran, salah satunya patung khas Asmat digemari di luar negeri.
Budaya mengukir di Asmat lahir dari
upacara keagamaan. Di sebagian daerah, sebuah upacara menghendaki adanya
pemotongan kepala manusia dan kanibalisme guna menenangkan arwah nenek moyang.
Untuk menghormati arwah nenek moyang, mereka membuat patung-patung yang
menyerupai arwah nenek moyang tersebut, khususnya yang datang dalam mimpi.
Lambat laun, kepercayaan ini menjadi tradisi mengukir dan memahat patung kayu.
Pada mulanya, patung-patung dibuat
secara kasar dan setelah digunakan dalam upacara agama tertentu lalu
ditinggalkan di dalam rawa. Ini sebagai wujud para arwah yang tinggal untuk
menjaga hutan sagu dan pohon palem yang merupakan sumber makanan utama
masyarakat Asmat.
Namun demikian, kejayaan ukiran
Asmat yang asli dari buah tangan putra asli secara perlahan mulai pudar
bersamaan dengan munculnya pemalsuan ukiran Asmat di sejumlah wilayah di
Indonesia. Lihat saja di Bali, Yogyakarta, Jepara, dan di daerah-daerah lain,
di mana ukiran-ukiran khas Asmat dengan mudah dapat ditemukan di daerah-daerah
tersebut.
Di masa jayanya, para turis, baik
asing maupun domestik, kolektor, seniman, dan pencinta ukiran harus mengunjungi
Asmat untuk mendapatkan ukiran atau patung asli. Namun dimulai sejak tahun
2000-an, mereka tidak lagi datang ke Asmat. Selain biaya yang cukup tinggi,
mereka bisa mendapatkan patung Asmat dengan datang ke Jawa dan Bali. Apalagi
ukiran Asmat di daerah-daerah tersebut sangat mirip dengan aslinya yang dibuat
pengrajin dari Asmat sendiri.
Tentunya dalam hal ini, masyarakat
Asmat sudah mengalami kerugian, baik dari sisi bisnis maupun kekayaan
intelektual. Apalagi para pengrajin di Asmat tidak tahu bagaimana proses
mendapatkan hak atas kekayaan intelektual (HaKI) atas keterampilan itu. Jadinya
karya mereka dengan mudah ditiru di berbagai tempat di Tanah Air. Padahal
ukiran itu memiliki sejarah dan asal-usulnya.
Sejak era kolonial Belanda, patung
Asmat yang tadinya dinilai sebagai benda primitif dan wujud kepercayaan
terhadap arwah-arwah jahat, pada akhirnya menjadi terkenal dan disimpan di
sejumlah museum di dunia. Nilai patung Asmat setingkat dengan barang-barang
hasil seni Eropa dan hasil kebudayaan yang tinggi dari daerah Sungai Nil,
Eupharathes, Gangga, dan Indus.
Saat ini, penduduk Asmat masih
membuat ukiran secara kecil-kecilan untuk dijual atau digunakan untuk upacara
ritual. Namun demikian kualitas ukiran tetap tinggi sesuai standar kualitas dan
nilai seni internasional.
Sayangnya, sejumlah pemahat Asmat
dari generasi berikutnya semakin mengedepankan motif ekonomi. Mematung sekadar
untuk mencari uang sehingga patung yang dihasilkan pun bagai masakan tanpa cita
rasa.
Akan tetapi, sisi positif pergesekan
dengan dunia luar adalah makin berkembangnya seni patung Asmat sehingga
melahirkan kreasi baru yang semakin rumit. Para wisatawan dan kurator juga merangsang
para pemahat untuk membuat pahatan yang lebih mudah dibawa bepergian dan dibuat
dari bahan kayu yang lebih keras.
Bahan kayu yang lebih keras juga
memungkinkan pemahat membuat pahatan yang lebih lembut sehingga sebuah karya
menjadi detail. Para pemahat generasi Primus Oambi pun mulai berkenalan dengan
kertas ampelas atau kikir meski lem kayu tetap diharamkan dalam seni patung
Asmat.
Sejumlah 202 karya patung Asmat yang
mewarnai lomba dalam Pesta Budaya Asmat 2006 membuktikan bahwa anak cucu Fumeripits
masih mampu menuangkan "kehidupan" pada sebuah kayu yang telah mati.
Akan tetapi, anak cucu Fumeripits
masih harus mengalami guncangan budaya berikutnya. Hingga kini, sebagian besar
anak adat Asmat masih hidup dengan berburu dan meramu di hutan yang jauh dari
pelayanan publik, lapangan kerja formal, listrik, air bersih, dan tempat
tinggal yang layak. Dengan daur kehidupan seperti itu, budaya memahat,
menyanyikan syair suci legenda Fumeripits, menabuh tifa semalaman, tetap
bertahan, dan semua tradisi itulah yang menjiwai para pemahat Asmat
menghasilkan adikarya mereka.
Seiring dengan deru pembangunan di
Asmat, tercerabut dari kehidupan berburu dan meramu tinggal menunggu waktu.
Memang tidak bijak jika kita menjadikan orang Asmat tetap sebagai cagar budaya
hidup, membiarkan mereka dalam peradaban berburu dan meramu sehingga kita tetap
bisa menikmati karya pahatan Asmat yang indah. Semoga para wow-ipits Asmat
terus berperahu dan tidak tenggelam di tengah derasnya arus modernisasi itu.
See The All
Perkembangan zaman yang ada telah
memudahkan pertukaran nilai dan pendangan terjadi diseluruh antero dunia,
termasuk Indonesia pada umumnya dan Suku Asmat pada khususnya. Pertukukaran
nilai inilah yang mengubah fungsi dan nilai dari kesenian pahatan yang dimiliki
suku Asmat, dari benda ritual menjadi benda seni bernilai ekonomis.
Pergantian nilai ini dikarenakan
adanya nilai baru yang masuk dari budaya luar, dalam hal ini adalah masuknya
agama Kristen kedalam kehidupan suku Asmat. Kepercayaan akan roh-roh yang ada
tergantikan kepada kepercayaan terhadap Tuhan, dan sudah barang tentu banyak
nilai yang berubah dari hal tesebut.
Cara pandang mereka tentang
kehidupan social pun berubah. Pada masa awal sebelum masuknya nilai budaya
baru, kehidupan social mereka masihlah sangat menjunjung tinggi nilai kesukuan.
Sebelumnya perang suku dianggap sebagai sesuatu yang wajar sebagi pembuktian
sistensi dan kehormatan serta martabat dari suatu suku dilingkungan suku Asmat.
Patung Mbis dijadikan sebagai salah satu sarana ritual penghantar kehadiran
“nenek moyang ” mereka yang dipercaya akn melindungi anak keturunannya
(Fumeripits). Saat ini budaya berbeda telah masuk, dan lambat laun nilai-nilai
baru tersebut menggeser nilai tersebut dan menggantikannya dengan nilai baru,
tentang perdamaian yang diidentikan dengan tidak adanya peperangan dan hal ini
pun menggeser fungsi patung pahatan, dari sarana ritual menjadi sebuah
pajangan.
Pendidikan yang kini lambat laun
berkembang dan telah turut menjamah belantara Asmat turut mengambil bagian
dalam perubahan paradikma tersebut. Hal ini merupakan pengaruh dari segi
kogntif seseorang. Perubahan paradikma dan sudut pandang masyarakat, terutama
pada generasi muda mulai berubah, hal-hal yang bersifat ritual kepercayaan
terhadap roh nenek moyang kini tidak dapat dengan mudah diterima oleh mereka
yang telah mengenyam pendidikan. Pola pikir mereka lebih cendrung logis,
sehinga nilai-nilai local pun mulai ditinggalkan.
Oleh karena ini mengapa saat ini
para generasi muda tidak banyak yang mengusai ketrampilan pembuatan patung Mbis
ini. Perkembangan semakin terus melaju, nilai-niai budaya pun semakin berburu
mencari tempat untuk mengukuhkan dirinya dan menggantikan nilai budaya lain
yang lemah dalam artinya pengaruh globalnya. Oleh karena ini bagaimana
mempertanhankan budaya itu adalah sampai kapan budaya tersebut masih memiliki
kekuatan untuk bertahan ditengah lajunya pergesekan budaya tersebut.
Daftar Pustaka :
1. Row dan
Eko Prihananto, Prasetyo . 2003. Antara Penghidupan dan Ritual Suku Asmat
:http://www2.kompas.com/ver1/Negeriku/0705/15/201303.htm
2. Srimulyaningsih
,Reni. 2004. Culture Sharing — Mengenal Suku Asmat. IYLP:http://kisipapua.blogspot.com/2007/12/patung-asmat-budaya-menghormati-leluhur.html
3. Andrian .2007. PATUNG
ASMAT Budaya Menghormati Leluhur yang Mendunia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar