Jumat, 10 Juli 2015

Penyimpangan Sosial

Penyimpangan Individu : Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Orang seperti itu biasanya mempunyai penyakit mental sehingga tidak dapat mengendalikan dirinya.
Penyimpangan perilaku yang bersifat individual sesuai dengan kadar penyimpangannya :
1.     Pembandel, yaitu penyimpangan karena tidak patuh pada nasihat orang tua agar mengubah pendiriannya yang kurang baik.
2.     Pembangkang, yaitu penyimpangan karena tidak taat pada peringatan orang-orang.
3.     Pelanggar, yaitu penyimpangan karena melanggar norma-norma yang berlaku.
4.     Perusuh atau penjahat, yaitu penyimpangan karena mengabaikan norma-norma umum sehingga menimbulkan kerugian harta benda atau jiwa di lingkungannya.
5.     Munafik, yaitu penyimpangan karena tidak menepati janji, berkata bohong, berkhianat, dan berlagak membela.
Contoh :  pencurian yang dilakukan sendiri. Seorang anak, dari beberapa saudara, ingin menguasai harta peninggalan orang   tuanya. Ia mengabaikan saudara-saudaranya yang lain. Ia menolak norma-norma pembagian warisan menurut adaptasi masyarakat maupun menurut norma agama. Ia menjual semua peninggalan harta orangtuanya untuk kepentingan diri sendiri.
Penyimpangan Kelompok : Penyimpangan yang dilakukan secara berkelompok dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-norma masyarakat yang berlaku. Pada umumnya, penyimpangan kelompok terjadi dalam subkebudayaan yang menyimpang yang ada dalam masyarakat.  Contoh :Geng kejahatan atau mafia.
Penyimpangan Situsional : Disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situsional/social di luar individu dan memaksa individu tersebut untuk berbuat menyimpang. Contoh :seorang suami yang terpaksa mencuri karena melihat anak dan istrinya kelaparan.
Penyimpangan Sistematik : Suatu system tingkah laku yang disertai organisasi social khusus, status formal, peranan-peranan, nilai-nilai norma-norma, dan moral tertentu yang semuanya berbeda dengan situasi umum. Segala pikiran dan perbuatan yang menyimpang itu kemudian dibenarkan oleh semua anggota kelompok.
Penyimpangan Campuran ( Mixture of Both Deviation) : gabungan antara individu dan kelompok. Pada awalnya, seorang individu yang memiliki semacam kekuatan yang besar, kemudian memengaruhi beberapa orang untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan yang bersifat kelompok.
 Pesan-pesan yang disampaikan agen sosialisasi berlainan dan tidak selamanya sejalan satu sama lain. Apa yang diajarkan keluarga mungkin saja berbeda dan bisa jadi bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh agen sosialisasi lain. Misalnya, di sekolah anak-anak diajarkan untuk tidak merokok, meminum minman keras dan menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba), tetapi mereka dengan leluasa mempelajarinya dari teman-teman sebaya atau media massa.
Proses sosialisasi akan berjalan lancar apabila pesan-pesan yang disampaikan oleh agen-agen sosialisasi itu tidak bertentangan atau selayaknya saling mendukung satu sama lain. Akan tetapi, di masyarakat, sosialisasi dijalani oleh individu dalam situasi konflik pribadi karena dikacaukan oleh agen sosialisasi yang berlainan.
Keluarga (kinship)
Bagi keluarga inti (nuclear family) agen sosialisasi meliputi ayah, ibu, saudara kandung, dan saudara angkat yang belum menikah dan tinggal secara bersama-sama dalam suatu rumah. Sedangkan pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan diperluas (extended family), agen sosialisasinya menjadi lebih luas karena dalam satu rumah dapat saja terdiri atas beberapa keluarga yang meliputi kakek, nenek, paman, dan bibi di samping anggota keluarga inti. Pada masyarakat perkotaan yang telah padat penduduknya, sosialisasi dilakukan oleh orang-orabng yang berada diluar anggota kerabat biologis seorang anak. Kadangkala terdapat agen sosialisasi yang merupakan anggota kerabat sosiologisnya, misalnya pengasuh bayi (baby sitter). menurut Gertrudge Jaeger peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang tuanya sendiri.
Teman pergaulan
Teman pergaulan (sering juga disebut teman bermain) pertama kali didapatkan manusia ketika ia mampu berpergian ke luar rumah. Pada awalnya, teman bermain dimaksudkan sebagai kelompok yang bersifat rekreatif, namun dapat pula memberikan pengaruh dalam proses sosialisasi setelah keluarga. Puncak pengaruh teman bermain adalah pada masa remaja. Kelompok bermain lebih banyak berperan dalam membentuk kepribadian seorang individu.
Berbeda dengan proses sosialisasi dalam keluarga yang melibatkan hubungan tidak sederajat (berbeda usia, pengalaman, dan peranan), sosialisasi dalam kelompok bermain dilakukan dengan cara mempelajari pola interaksi dengan orang-orang yang sederajat dengan dirinya. Oleh sebab itu, dalam kelompok bermain, anak dapat mempelajari peraturan yang mengatur peranan orang-orang yang kedudukannya sederajat dan juga mempelajari nilai-nilai keadilan.
Lembaga pendidikan formal (sekolah)
Media massa merupakan salah satu agen sosialisasi yang paling berpengaruh
Menurut Dreeben, dalam lembaga pendidikan formal seseorang belajar membaca, menulis, dan berhitung. Aspek lain yang juga dipelajari adalah aturan-aturan mengenai kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme, dan kekhasan (specificity). Di lingkungan rumah seorang anak mengharapkan bantuan dari orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, tetapi di sekolah sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa tanggung jawab.
Media massa
Yang termasuk kelompok media massa di sini adalah media cetak (surat kabar, majalah, tabloid), media elektronik (radio, televisi, video, film). Besarnya pengaruh media sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
Contoh:
Penayangan acara SmackDown! di televisi diyakini telah menyebabkan penyimpangan perilaku anak-anak dalam beberapa kasus.
Iklan produk-produk tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat pada umumnya.
Gelombang besar pornografi, baik dari internet maupun media cetak atau tv, didahului dengan gelombang game eletronik dan segmen-segmen tertentu dari media TV (horor, kekerasan, ketaklogisan, dan seterusnya) diyakini telah mengakibatkan kecanduan massal, penurunan kecerdasan, menghilangnya perhatian/kepekaan sosial, dan dampak buruk lainnya.
Agen-agen lain
Selain keluarga, sekolah, kelompok bermain dan media massa, sosialisasi juga dilakukan oleh institusi agama, tetangga, organisasi rekreasional, masyarakat, dan lingkungan pekerjaan. Semuanya membantu seseorang membentuk pandangannya sendiri tentang dunianya dan membuat presepsi mengenai tindakan-tindakan yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Dalam beberapa kasus, pengaruh-pengaruh agen-agen ini sangat besar.
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
Sosialisasi sekunder
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi. Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru. Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan' identitas diri yang lama.
Proses sosialisasi
Menurut George Herbert Mead
George Herbert Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui tahap-tahap sebagai berikut.
Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh: Kata "makan" yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan "mam". Makna kata tersebut juga belum dipahami tepat oleh anak. Lama-kelamaan anak memahami secara tepat makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.
Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya, dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other)
Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.
Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama--bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya-- secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Menurut Charles H. Cooley
Cooley lebih menekankan peranan interaksi dalam teorinya. Menurut dia, Konsep Diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain. Sesuatu yang kemudian disebut looking-glass self terbentuk melalui tiga tahapan sebagai berikut.
1. Kita membayangkan bagaimana kita di mata orang lain.
Seorang anak merasa dirinya sebagai anak yang paling hebat dan yang paling pintar karena sang anak memiliki prestasi di kelas dan selalu menang di berbagai lomba.
2. Kita membayangkan bagaimana orang lain menilai kita.
Dengan pandangan bahwa si anak adalah anak yang hebat, sang anak membayangkan pandangan orang lain terhadapnya. Ia merasa orang lain selalu memuji dia, selalu percaya pada tindakannya. Perasaan ini bisa muncul dari perlakuan orang terhadap dirinya. MIsalnya, gurunya selalu mengikutsertakan dirinya dalam berbagai lomba atau orang tuanya selalu memamerkannya kepada orang lain. Ingatlah bahwa pandangan ini belum tentu benar. Sang anak mungkin merasa dirinya hebat padahal bila dibandingkan dengan orang lain, ia tidak ada apa-apanya. Perasaan hebat ini bisa jadi menurun kalau sang anak memperoleh informasi dari orang lain bahwa ada anak yang lebih hebat dari dia.
3. Bagaimana perasaan kita sebagai akibat dari penilaian tersebut.
Dengan adanya penilaian bahwa sang anak adalah anak yang hebat, timbul perasaan bangga dan penuh percaya diri.
Ketiga tahapan di atas berkaitan erat dengan teori labeling, dimana seseorang akan berusaha memainkan peran sosial sesuai dengan apa penilaian orang terhadapnya. Jika seorang anak dicap "nakal", maka ada kemungkinan ia akan memainkan peran sebagai "anak nakal" sesuai


Manusia dan Akar Tumbuhan

Manusia yang berilmu adalah manusia yang memiliki derajat yang baik sebagai manusia. Pada dasarnya ilmu di peroleh dari berbagai macam cara, baik membaca, menulis, dan beraktifitas. Selain itu, berperannya panca indera sudah termasuk proses kontruksi pengetahuan yang tanpa di sadari dan disadari oleh diri manusia itu sendiri. Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. 

Manusia yang tak memiliki ilmu sama seperti tumbuhan tanpa akar. Tumbuhan tak akan tumbuh besar dan tinggi tanpa adanya akar terkecuali tumbuhan cangkok. Tumbuhan cangkok sudah pasti memerlukan akar namun prosesnya yang membedakannya. Ibarat sebagai manusia adalah manusia yang sudah memiliki modal materi yang besar. Sehingga memiliki beberapa alternative untuk menumbuh kembangkan dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah dengan mencangkok. Proses pencangkokan itulah merupakan proses pewarisan modal. Memiliki kemungkinan dapat dengan mudah dan pasti tumbuhannya tumbuh besar dan subur. Disebabkan pewarisan modal tersebut.

Akar pada tumbuhan sangatlah bervarian, memanjang ke bawah, dan melebar kesamping. Pada dasarnya akar adalah sebagai penopang dari batang Tumbuhan yang sudah tumbuh subur dengan perhitungan waktu yang terus berjalan dan semakin menua. Semakin kuat akar menancap pada tanah, makan Tumbuhan pun akan semakin gagah untuk berdiri tegap. Tiupan angin yang kencang, hujan yang cukup deras, dan fenomena alam yang lain tak membuatnya Tumbuhan tersebut mudah tumbang dan roboh. Banyak peTumbuhanan semakin mudah tumbang dan roboh disebabkan faktor usia, melainkan kurang kuatnya akar yang menancap kedalam tanah dan kurangnya subur Tumbuhan tersebut membuatnya rapuh.

Analogi akar tumbuhanlah sama seperti ilmu yang sudah kita peroleh. Semakin banyak ilmu yang kita miliki akan sangat mungkin dapat menumbuhkembangkan diri mereka sendiri.  Ilmu yang dimiliki sangatlah penting dalam menompang kehidupan manusia itu sendiri. Tingginya derajat manusia, baik dalam bentuk status, jabatan, kekayaan harta, kekuasaan adalah peranan dan kontribusi dari ilmu yang mereka miliki. Tak akan mungkin ada orang dapat melakukan sesuatu dan berhasil tanpa memiliki ilmu. Dengan ilmu akan semakin mudah kita sebagai manusia dalam menjalankan aktivitasnya. Suksesnya para pengusaha merupakan hasil dari ilmu yang dimiliki. Dan dibentuk melalui usaha yang mereka lalukan. Begitupun para penguasa jabatan. Mereka tak akan bisa menjadi pejabat tinggi jika tak memilik ilmu. Maka amatlah penting ilmu dalam kehidupan manusia untuk menjalankan aktifitasnya.

Tak akan pernah rugi jika kita memiliki ilmu mengenai apapun. Sebaliknya, orang akan merasa rugi jika tak memiliki ilmu mengenai apapun. Penting adalah sejauhmana penggunaan dalam pemanfaatan ilmu tersebut. Penggunaan yang salah akan dapat memberikan dampak yang kurang baik. Sama halnya ketika manusia salah menempatkan ilmu yang dimiliki ke tempat yang tidaklah seharusnya. Namun dapat saling memberikan kontribusi jika kita bisa menyelaraskannya.


Rabu, 08 Juli 2015

Change Conceptual Model (CCM)

A.  Hakikat Proses Perubahan Konseptual
Hakikat proses perubahan konseptual (Hsiao-Ching: 2004) mengatakan “Many researchers in the field of cognitive psychology have proposed theories that explain the difficulties faced by students when learning certain scientific concepts (Carey, 1986; Chi et al., 1994; Thagard, 1992; Vosniadou & Brewer, 1987). Dijelaskan bahwa banyak penelitian yang menjelaskan permasalahan dan kesulitan dalam belajar saat menghadapi siswa dalam menjelaskan konsep sains. Perbendaan konsep dari setiap individu pembelajar yang menjadikan sebuah permasalah dalam pembelajaran. Maka perlu suatu integritas untuk menyamakan perspektif mengani pemahaman untuk menjelaskan sesuatu. Sehingga konsep tersebut menjadi lebih utuh untuk dipahaminya.
Belajar memerlukan pengaturan diri dan pembentukan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi. Fosnot menambahkan, tujuan belajar lebih difokuskan pada pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam daripada sekedar pembentukan perilaku atau keterampilan. (Sukiman: 2008) Dalam paradigma ini, belajar lebih menekankan proses daripada hasil. Implikasinya, 'berpikir yang baik' lebih penting daripada 'menjawab yang benar'. Seseorang yang bisa berpikir dengan baik, dalam arti cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi suatu fenomena baru, akan dapat menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Sementara itu, seorang pelajar yang sekadar menemukan jawaban benar belum tentu sanggup memecahkan persoalan yang baru karena bisa jadi ia tidak mengerti bagaimana menemukan jawaban itu. Bila proses berpikirnya berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, maka ia masih dapat memperkembangkannya.
Penelitian pada siswa tentang konsep pembelajaran sains sudah dijelaskan dalam beberapa dekade. Dari penelitian ini, model pembelajaran perubahan konseptual diperkenalkan oleh posner pada tahun 1982 melalui sebuah penelitiannya. (Lily Barlia dan Michael Beeth: 1999)
Model pembelajaran ini fokus pada sains dan banyak memberikan perhatiannya. Model pembelajaran perubahan konseptual melihat analogi antara proses pembelajaran perubahan konseptual di dalam kelas dan proses pembelajaran perubahan konsep sains di masyarakat. Seiring perkembangan zaman, intepretasi sebuah pengetahuan semakin berkembang sehingga adanya sebuah konsep dalam memahami sesuatu.
Inti pembelajaran dalam perpektif konstruktivisme melibatkan proses perubahan konseptual, terutama bila terjadi alternative conception. Bila mengacu pada pandangan konstruktivisme psikologi personal, terdapat tiga proses kunci yang dilakukan individu dalam membangun pengetahuan yaitu, asimilasi[1], akomodasi[2] dan ekuilibrium[3] (Piaget, Wadsworth, 1984). (Tatang Suratno: 2008) Ada sedikit perbedaan seperti apa yang dikatakan oleh posner.
Sementara itu, Posner et al. (1982) memandang proses perubahan konseptual diawali oleh proses asimilasi kemudian akomodasi. Piaget dan Posner et al. (1982) memiliki konsepsi yang agak berbeda terutama dalam konsepsi akomodasi. Menurut Piaget dan Posner et al., (1982) pada intinya, asimilasi terjadi karena pengetahuan awal siswa sejalan/berhubungan dengan fenomena dan belum terjadi perubahan skema/konflik kognitif (Piaget) ataupun perubahan konseptual (Posner et al., 1982). (Tatang Suratno: 2008)
 Model Pembelajaran Perubahan Konseptual atau dikenal dalam bahasa Indonesia dengan istilah MPPK mampu merubah miskonsepsi atau intuisi-intuisi yang dimiliki siswa menjadi konsep ilmiah, meningkatkan pemahaman konsep siswa, dan meningkatkan hasil belajar siswa (Santyasa, 2004, Suparno, 2005). Posner et al., (dalam Dole & Sinatra, 1998) lebih lanjut menjelaskan tentang MPPK yang mengacu pada empat variabel kritis proses perubahan konseptual, yaitu (Eka, Sadia, Suastra: 2014)  :
1.    Dissatisfied, pebelajar tidak puas dengan konsep yang telah dimilikinya (existing conception) dalam menjelaskan informasi atau data yang diketahuinya,
2.    Intelligible, konsep yang baru (new conceptions) yang diketahui pebelajar dapat dimengerti dan membangun pemahaman,
3.    Plausible, pebelajar harus merasa bahwa konsep-konsep yang baru tersebut adalah masuk akal, artinya pengetahuan tersebut bukan hanya membangun pengertian dan dapat dipahami, akan tetapi harus menjadi sebuah kepercayaan (be believable), dan
4.    Fruitful, pebelajar harus menemukan bahwa konsep-konsep baru yang diperoleh adalah bermanfaat dan berperan untuk membangun wawasan baru (new insight) dan hipotesis-hipotesis lebih lanjut. Berdasarkan uraian di atas model MPKK diduga dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa.

Keempat variabel kritis sudah menjelaskan secara jelas tentang bagaimana siswa dapat merupakan miskosepsinya. Sehingga muncul perubahan konsep yang lebih utuh dan kuat berdasarkan proses yang sudah dilewatkannya. Perubahan konsep memunculkan sebuah pengetahuan baru dalam memahami sebuah konsep. Ada beberapa pengembangan teori untuk menjelaskan mengapa konsep lebih sulit dirubah dari pada yang lain. Teori berasumsi bahwa siswa mudah menerima sesuatu yang dipikirkan bedasarkan ontology, seperti, berarti, proses dan mental.
Thargard juga menjelaskan beberapa varian perubahan konsep Hsiao-Ching: 2004) yaitu;
“…..model containing nine various types of conceptual change ranked according to degree of increasing severity. In his analysis of scientific conceptual systems, scientific concepts are divided into treelike structures. These structures include kind-relations (birds, mammals, and reptiles are kinds of animals) and part-relations (birds have feathers and beaks), as well as relations between concepts and rules that link concepts (whales eat sardines), which are in turn parts of the concept it self. He used these notions to create a hierarchy of change types. In his model, the first seven kinds of change, including adding a new instance, a new weak rule, a new strong rule, a new part-relation, a new kind-relation, and a new concept, as well as deleting part of a kind-hierarchy, are all common in science learning. However, other concepts that involve reorganizing hierarchies by branch jumping and tree switching are the most dramatic kinds of conceptual change and are common in scientific conceptual revolution.”

Pengetahuan yang telah dimiliki oleh seseorang sesungguhnya berasal dari pengetahuan yang secara spontan diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan. Sementara pengetahuan baru dapat bersumber dari intervensi di sekolah yang keduanya bisa konflik, kongruen, atau masing-masing berdiri sendiri. Dalam kondisi konflik kognitif, siswa dihadapkan pada tiga pilihan, (Bagus Putrayasa: 2013, 112-113) yaitu:
1.    mempertahankan intuisinya semula,
2.    merevisi sebagian intuisinya melalui proses asimilasi, dan
3.    merubah pandangannya yang bersifat intuisi tersebut dan mengakomodasikan pengetahuan baru.

Perubahan konseptual terjadi ketika siswa memutuskan pada pilihan yang ketiga. Agar terjadi proses perubahan konseptual, belajar melibatkan pembangkitan dan restrukturisasi konsepsi-konsepsi yang dibawa oleh siswa sebelum pembelajaran (Brook & Brook, 1993). Ini berarti bahwa mengajar bukan melakukan transmisi pengetahuan tetapi memfasilitasi dan memediasi agar terjadi proses negosiasi makna menuju pada proses perubahan konseptual (Hynd, et al., 1994). Proses negosiasi makna tidak hanya terjadi atas aktivitas individu secara perorangan, tetapi juga muncul dari interaksi individu dengan orang lain melalui peer mediated instruction. Model pembelajaran perubahan konseptual memiliki enam langkah pembelajaran (Santyasa, 2004), yaitu: (1) Sajian masalah konseptual dan kontekstual, (2) konfrontasi miskonsepsi terkait dengan masalah-masalah tersebut, (3) konfrontasi sangkalan berikut strategi-strategi demonstrasi, analogi, atau contoh-contoh tandingan, (4) konfrontasi pembuktian konsep dan prinsip secara ilmiah, (5) konfrontasi materi dan contoh-contoh kontekstual, (6) konfrontasi pertanyaan-pertanyaan untuk memperluas pemahaman dan penerapan pengetahuan secara bermakna. (Bagus Putrayasa: 2013, 113)
Sarana pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar, panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan demonstrasi atau eksperimen yang sesuai, model analogi, meja dan kursi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu. Dampak pembelajaran dari model ini adalah: sikap positif terhadap belajar, pemahaman secara mendalam, keterampilan penerapan pengetahuan yang variatif. Dampak pengiringnya adalah: pengenalan jati diri, kebiasaan belajar dengan bekerja, perubahan paradigma, kebebasan, penumbuhan kecerdasan inter dan intrapersonal. (Bagus Putrayasa: 2013, 113)
Perspektif tentang proses perubahan konseptual akhir-akhir ini paling banyak mendapat perhatian para pendidik sains. (Wills Dahar: 2006, 155) Terbukti dari banyaknya penelitian yang dilakukan di beberapa Negara dan di Negara kita khususnya, walaupun masih terhitung sedikit para peneliti menggunakan model perubahan konseptual.
Telah dikemukakan terdahulu bahwa miskonsepsi merupakan penghambat dalam belajar sains. Oleh karena itu, miskonsepsi sedapat mungkin diadakan melalui perubahan konseptual. Perubahan konseptual pada anak sejalan dengan cara perubahan teori dalam sains menurut argumentasi Kuhn (Driver, 1989). (Wills Dahar: 2006, 155) Pemahaman awal dapat menghambat proses pembelajaran, seperti yang dikatakan oleh posner. Asimilasi merupakan tahap awal peserta didik memahami sebuah konsep. Sehingga memiliki kemungkinan bahwa peserta didik sulit untuk memahaminya konsep baru dan konsep awal di rubah menuju konsep baru. Permasalahan inilah yang perlu diperhitungkan oleh guru sebagai mediator dan fasilitator untuk bagaimana peserta didik dapat menerima sebuah pemahaman baru dengan merubah konsep awal menjadi sebuah konsep baru dengan penjelasan yang sangat baik, terperinci dan mudah dipahami serta perlu adanya adaptasi dengan pemahaman siswa. Pertentangan konsep dapat memicu sulitnya siswa dapat beradaptasi dengan konsep baru. Maka dari itu, adaptasi dengan kondisi peserta didik amalah penting guna mencapai tujuan pembelajaran. Selain itu, akomodasi sebagai proses selanjutnya dapat memudahkan siswa untuk menerima konsep baru dengan merubah konsep awal.
Akomodasi merupakan proses konflik kognitif karena skema dengan fenomenanya berbeda (Piaget). Sementara Posner et al., (1982) berpandangan lebih luas dimana akomodasi merupakan proses perubahan konseptual dikarenakan konsepsi siswa tidak sesuai dengan fenomena yang baru; konteksnya berbeda. Terdapat empat syarat yang menjembatani proses akomodasi, (Tatang: 2008) yaitu:
  1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsepsi yang telah ada. Siswa akan mengubah konsepsinya bila siswa merasa konsepsi yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk merespon fenomena atau pengalaman baru.
  2. Konsepsi yang baru harus dapat dimengerti (intelligible), rasional dan dapat memecahkan permasalahan atau fenomena yang baru.
  3. Konsepsi yang baru harus masuk akal (plausible), dapat memecahkan permasalahan terdahulu serta konsisten dengan teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
  4. Konsep yang baru harus berdaya guna atau bermanfaat (fruitful) dalam pengembangan penelitian atau penemuan yang baru.

Perubahan konsep tidaklah hanya terjadi pada pembelajaran sains saja. Namun ada mata pelajaran lain yang dapat dirubah konsepnya karena seringnya terjadi perbedaan antara konsep awal dengan konsep yang seharusnya dipahami oleh peserta didik. Proses pengamatan pada lingkungan dapat menumbuhkan konsep-konsep awal peserta didik, meskipun sifatnya dinamis dan dapat berubah kapanpun.
Proses perubahan konseptual (conceptual-change process) merupakan sebuah proses dimana peserta didik dituntut untuk mengemukakan pengetahuan awal (konsepsi) yang mereka peroleh berdasarkan pengalaman kesehariannya, memberi alasan dan berargumentasi ketika dihadapkan pada konsep yang ditawarkan dalam materi pelajaran seni budaya, menganalisa dan mengambil keputusan, serta menarik kesimpulan yang dijadikan sebagai konsep yang dapat diterima secara pribadi maupun ilmiah, meskipun tetap bersifat tentatif. Hal ini dikarenakan seiring dengan kematangan pengalaman dan keseharian peserta didik serta perkembangan ilmu pengetahuan, konsep tersebut pun masih dapat tergeser oleh konsep lain yang lebih dapat diterima. (Martadi: 2012)

B.  Komponen-Komponen Perubahan Konseptual
Gunstone (1994) mendefinisikan perubahan konseptual ”…the abandonment of one conception and the acceptance of another”. Kemudian, istilah perubahan konseptual penulis definisikan sebagai suatu kondisi dimana siswa memegang konsepsi serta keyakinan yang siswa miliki dimana keduanya [konsepsi dan keyakinan] bertentangan dengan apa yang sedang dipelajari sehingga siswa memutuskan untuk merubahnya. Dalam proses perubahan konseptual, apakah seluruh konsepsi awal siswa dirubah secara keseluruhan? Mungkin saja, akan tetapi pada dasarnya terdapat dua kondisi umum dari perubahan konsep yaitu mengganti (bersifat radikal/revolusioner) ataupun menambah [bisa juga mengurangi] dengan konsepsi lain yang dianggap tepat konteksnya [evolusioner]. Akan tetapi, pada umumnya proses perubahan konseptual cenderung evolusi ketimbang revolusi (Gunstone, 1997). (Tatang: 2008)
Dikatakan tidak revolusioner karena tidak seluruhnya konsep awal berubah menjadi konsep baru. Namun konsepsi yang tepat diselaraskan dengan konsep yang seharunya. Sehingga perubahan konsep tidak seutuhnya berubah, melainkan penyesuaian terhadap konsep. Ada pula beberapa proses yang perlu dilakukan pada model perubahan konsep.
Dalam proses perubahan konseptual terdapat beberapa proses meliputi proses mengenali (recognizing), mengevaluasi (evaluating) konsepsi dan keyakinan, kemudian memutuskan (deciding) apakah perlu membangun ulang (reconstructing) atau tidak konsepsi dan keyakinan tersebut dengan yang baru (Gunstone, 1994). Rumusan yang dikemukakan oleh Gunstone (1994) sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Postner et al. (1982): ketidakpuasan terhadap konsepsi yang ada, intelligible, plausible dan fruitful, dimana ketidakpuasan dan fruitful merupakan faktor penting dalam proses perubahan konseptual. Ketidakpuasan dan fruitful pada dasarnya secara psikologis sangatlah sulit dan bergantung kognisi individu, terutama metakognisi. (Tatang: 2008)
Faktor lain yang mempengaruhi proses perubahan konseptual adalah faktor kontekstual. Artinya, siswa bisa saja menerima dan memahami konsep ilmiah pada konteks tertentu, tetapi bisa saja tetap menggunakan konsepsi awalnya [bersifat miskonsepsi] pada konteks lain. Makna dari suatu konteks di sini adalah dari segi penerapan konsep, konsepnya sama tetapi contoh kasusnya berbeda. Oleh karena itu, karakteristik dari perubahan konsep adalah bersifat kontekstual dan tidak stabil (Gunstone, 1997). Perubahan konsep yang bersifat jangka panjang dan stabil baru bisa tercapai bila siswa mengenali hal-hal yang relevan dan sifat umum dari konsep ilmiah secara kontekstual. (Tatang: 2008)
Ada beberapa penelitian menunjukan bagaimana implikasi model perubahan konseptual dalam pembelajaran sains. Salah satunya hasil penelitian yang dilakukan oleh lily barlia di sekolah dasar. Seperti yang dikatan lily barlia dalam penelitian, (Barlia: 2014) yaitu ;[4]
Teaching instructional strategies based on conceptual change teaching and extensive teacher support to students as needed, seem to effectively help students’ motivation to learn in the meaningful ways. The effectiveness of these two factors (conceptual change teaching and teacher support) is clearly described, for example in irfan’s and Lina’s case. This can be one of the valuable solutions to help these students population to increase their expectations to be accountable for their learning outcomes instead of just finishing the work or course assignment.

Mengajar strategi pembelajaran berdasarkan perubahan konseptual mengajar dan guru yang luas dukungan kepada siswa sangat diperlukan, tampaknya efektif membantu motivasi siswa untuk belajar dengan cara yang berarti. Efektivitas kedua faktor (perubahan konseptual mengajar dan guru mendukung) dijelaskan secara jelas, misalnya dalam irfan dan kasus Lina. Hal ini dapat menjadi salah satu solusi yang berharga untuk membantu ini siswa penduduk untuk meningkatkan harapan mereka untuk menjadi jawab atas hasil belajar mereka bukan hanya menyelesaikan pekerjaan atau tugas saja.



[1] Asimilasi adalah proses berpikir terhadap suatu konsep dengan memunculkan suatu konsep yang baru.
[2] Akomodasi adalah proses cara berpikir manusia dalam memahami sebuah konsep sebagai fasilitator untuk menemukan sebuah konsep.
[3] Ekuilibrium adalah proses cara berpikir setelah kedua unsur seperti asimilasi dan akomodasi tercapai maka bertemunya titip sebuah pemahaman dari sebuah konsep yang lebih matang.
[4] Lily Barlia. 2014. Elementary School Students’ Motivation Profiles in Learning Science for Conceptual Changing. International Journal of Science and Research (IJSR) Volume 3 Issue 7, July 2014. Retrieved April 3, 2015 from www.ijsr.net/archive/v3i7/MDIwMTQ5ODQ=.pdf

Penyimpangan Sosial

Penyimpangan Individu : Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang individu dengan melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dari norma-n...