Awal mula perkembangan sosiologi
bias dilacak pada saat terjadinya Revolusi Perancis, dan Revolusi Industri yang
terjadi sepanjang abad 19 yang menimbulkan kekhawatiran, kecemasan, dan
sekaligus perhatian dari para pemikir di waktu itu tentang dampak yang
ditimbulkan dari pemikiran dahsyat di bidang politik dan ekonomi kapitalistik
di masa itu.
Tokoh yang sering dianggap sebagai “Bapak Sosiologi” adalah August Comte,
seorang filsafat dari Perancis yang lahir tahun 1798. August Comte mencetuskan
pertama kali nama sociology dalam
bukunya yang tersohor, Positive
Philosophy, yang terbit tahun 1838. Istilah sosiologi berasal dari kata
latin socius yang berarti “kawan” dan kata Yunani logos berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi, sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Menurut
Comte, di dalam hierarki ilmu, sosiologi menempati urutan tereatas-di atas
astronomi, fisika, kimia, dan biologi (Coster, 1977). Pandangan Comte yang
dianggap baru pada waktu itu adalah ia percaya bahwa sosiologi harus didasarkan
pada observasi dan klasifikasi yang sistematis, dan bukan pada kekuasaan serta
spekulasi.
Istilah sosiologi menjadi lebih popular setengah abad kemudian berkat jasa
Herbert Spencer – ilmuwan dari Inggris yang menulis buku berjudul Principles of Sociology (1876). Spencer
menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan
teori besar tentang evolusi social yang diterima secara luas beberapa puluh
tahun kemudian.
Banyak ahli sepakat bahwa factor
yang melatarbelakangi kelahiran sosiologi adalah karena adanya krisis-krisis
yang terjadi di dalam masyarakat. Laeyendecker (1983), misalnya, mengaitkan
kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di
Eropa Barat. Proses perubahan dan krisis yang diidentifikasi Laeyendecker
adalah tumbuhan kapitalisme pada akhir abad 15, perubahan-perubahan di bidang
sosial – politik, perubahan berkenaan dengan reformasi Martin Luther
meningkatnya individualismo, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya
kepercayaan pada diri sendiri, dan revolusi industri pada abad ke-18, serta
terjadinya Revolusi Perancis. Sosiologi acapkali disebut sebagai “ilmu
keranjang sampah” (dengan nada memuji), karena membahas ikhwal atau masalah
yang tidak dipelajari ilmu-ilmu yang ada sebelumnya dan karena kajiannya lebih
banyak terfokus pada problem kemasyarakatan yang timbal akibat krisis-krisis
sosial yang terjadi.
Sejas awal kelahirannya, sosiologi
banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial. Tetapi, berbeda dengan filsafat sosial
yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang masyarakat sebagai “mekanisme”
yang dikuasai hukum-hukum mekanis, sosiologi lebih menempatkan warga masyarakat
sebagai individu yang relatif bebas. Sementara sosiologi justru mempertanyakan
keyakinan lama dari para filsuf itu, dan sebagai gantinya muncullah keyakinan
baru yang dipandang lebih mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya.
Mengana pengetahuan sosial tidak
bisa digolongkan sebagai ilmu? Berbeda dengan pengetahuan ilmiah yang bisa
diuji kembali kebenarannya, pengetahuan sosial memiliki sejumlah keterbatasan
dan kelemahan. Menurut
Leonardus laeyendecker menyebut “ada
tiga keterbatasan dari pengetahuan sosial, yakni : (1) karena pengetahuan sosial diperoleh orang dari lingkungannya
yang relatif terbatas. Kehidupan masyarakat diluar lingkungan pergaulannya,
mereka sama sekali tidak memahaminya; (2)
karena pengetahuan sosial diperoleh secara selektif menurut emosi-emosi dan
karakteristik pribadi masing-masing orang, sehingga besar kemungkinan atau
sekurang-kurangnya bukan tidak mungkin muncul bias; (3) karena pengetahuan sosial acapkali diperoleh secara tidak
sengaja, main-main, dan karenanya kurang dipikirkan secara mendalam dan tidak selalu
ditinjau secara kiritis.”
Perkembangan sosiologi yang makin
mantap terjadi tahun 1895, yakni pada saat Emile Durkheim – seorang ilmuwan
Perancis – menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociology Method. Dalam bukunya yang melambungkan namanya
itu, Durkheim menguraikan tentang pentingya metodologi ilmiah di dalam
sosiologi untuk meneliti falta sosial. Durkheim saat ini diakui banyak pihak
sebagai “Bapak Metodologi Sosiologi”, dan bahkan Reiss, misalnya, lebih setuju
menyebut Emile Durkheim sebagai penyumbang utama kemunculan sosiologi di
Perancis, tetapi ia juga telah berhasil mempertegas eksistensi sosiologi
sebagai bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah yang memiliki ciri-ciri terukur,
dapat diuji, dan objektif.
Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah
mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial, yakni sebuah kekuatan
dan struktur yang bersifat eksternal, tetapi mampu memengaruhi perilaku
individu. Dengan kata lain, falta sosial merupakan cara-cara bertindak,
berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar indvidu, dan mempunyai kekuatan
memaksa yang mengendalikannya. Yang dimaksud fakta sosial di sini tidak hanya
bersifat material, tetapi juga nonmaterial, seperti kultur, agama, atau
instituis sosial.
Pendiri sosiologi lainnya, Max Weber, memiliki
pendekatan yang berbeda dengan Durkheim. Menurut Weber, sebagai ilmu yang
mencoba memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya,
Sosiologi tidak semestinya berkutat pada soal-soal pengukuran yang sifatnya
kuantitatif dan sekadar mengkaji pengaruh factor – factor eksternal, tetapi
yang lebih penting sosiologi bergerak pada upaya memahami di tingkat makna, dan
mecoba mencari penjelasan pada factor-factor internal yang ada di masyarakat
itu sendiri. Pada batas-batas tertentu, Weber dengan demikian mengajak para
sosiolog keluar dari pikiran-pikiran ortodoks yang acapkali terlalu menekankan
pada objektivitas dan kebenaran eksklusif, dan secara terbuka mengajak untuk
mengakui relaitivitas interperetasi. Secara substancial, pendekatan yang
ditawarkan Weber memang berbeda dengan Durkheim. Tetapi, justar karena hal
itulah perkembangan sosiologi ke depan tidak pernah stagnan, apalagi mati.
Sebagai sebuah ilmu yang relatif baru, perkembangan sosiologi justru selalu
mencoba mencari bentuk dan memperbaiki berbagai kekurangan yang ada.
Memasuki abad 20, perkembangan
sosiologi makin variatif. Dipelopori tokoh-tokoh ilmu sosial kontemporer,
terutama Anthony Giddens, fokus minat sosiologi dewasa ini bergeser dari
structures ke agency, dari masyarakat yang dipahami terutama sebagai
seperangkat batasan eksternal yang membatasi bidang pilihan yang bersedia untuk
anggota-anggota masyarakat tersebut, dan dalam beberapa hal menentukan perilaku
mereka, menuju ke era baru; memahami latar belakang sosial sebagai kumpulan
sumber daya yang diambil oleh aktor-aktor untuk mengejar kepentingan mereka
sendiri.
Di era tahun 2000-an ini,
perkembangan sosiologi semakin mantap dan kehadirannya diakui banyak pihak
memberikan sumbangan yang sangat penting bagi usa pembangunan dan kehidupan
sehari-hari masyarakat. Bidang-bidang kajian sosiologi juga terus berkembang makin
variatif dan menembus batas-batas disiplin ilmu lain. Horton dan Hunt, misalnya
mencatat sejumlah bidang kajian sosiologi yang saat ini dikenal dan banyak
dikembangkan. Beberapa di antaranya adalah sosiologi terapan, perilaku
kelompok, sosiologi budaya, perilaku menyimpang, sosiologi industri, sosiologi
kesehatan, metodologi dan statistik, hukum dan masyarakat atau sosiologi hukum,
sosiologi politik, sosiologi militer, perubahan sosial, sosiologi pendidikan,
sosiologi perkotaan, sosiologi pedesaan, sosiologi agama, dan sebagainya. Di
tahuh-tahun berikut, bisa diramalkan bahwa perkembangan sosiologi juga akan
makin beragam dan makin
penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar