A. Pengertian
Definisi
bunuh diri menurut Durkheim adalah: “bunuh diri istilah diterapkan pada semua
kasus kematian yang diakibatkan secara langsung atau tidak langsung dari
tindakan positif atau negatif dari korban sendiri, yang dia tahu akan
menghasilkan hasil ini” (Suicide, 1982 : 110). Definisi ini digunakan untuk
memisahkan bunuh diri benar dari kematian disengaja. Dia kemudian mengumpulkan
statistik tingkat bunuh diri beberapa negara Eropa, yang terbukti relatif
konstan antara negara-negara dan di antara demografi yang lebih kecil dalam suatu
negara. Dengan demikian, kecenderungan kolektif terhadap bunuh diri ditemukan.
Durkheim
dalam buku ini ingin membedakan fenomena bunuh diri yang terjadi pada individu
seperti yang ada dalam psikologi dengan yang terjadi karena faktor diluar
individu. Sesuai dengan aturan metode sosiologis yang dibuatnya, Durkheim ingin
membuktikan bahwa fakta sosial adalah penyebab fenomena bunuh diri dan ini
membuktikan tesisnya tentang metodologinya terhadap masalah sosial. Meskipun
fenomena bunuh diri ,juga merupakan fenomena individu, namun secara umum,
Durkheim melihat peristiwa bunuh diri dapat di generalisasikan sebagai
peristiwa yang disebabkan keterasingan. Dalam metodologi penelitiannya,
Durkheim mengelompokkan fakta bunuh diri sesuai dengan kararkternya. Sebab apabila
fakta bunuh diri hanya dilihat dalam sisi pelakunya, maka akan mempersulit
hipotesa yang dikemukakannya karena akan terjadi bias, karena akan menemukan
terlalu banyak faktor. Oleh karena itu Durkheim menjelaskan batasan bunuh diri
sebagai berikut, “ Suicide is applied to all cases of death resulting directly
or indirectly from positive or negative act of the victim himself, which he
knows will produce this result ”
Ada
dua situasi yang menyebabkan bunuh diri, yaitu berasal dari faktor internal, yang kedua bunuh diri harus
dijelaskan dengan fakta sosial yang lainnya atau berasal dari lingkungan eksternal. Pada saat Durkheim
meneliti masalah bunuh diri, kasus ini lebih banyak dianggap sebagai kasus yang
disebabkan oleh penyakit mental, yang sering disebut sebagai monomania, dan
orang berpenyakit gila. Namun dalam kenyataannya, beberapa prinsip yang
mendasari sebab bunuh diri ini sangat berlawanan dengan data statistic yang
ada, ketika masalahnya bukan berasal dari gejala klinis yang dapat dihubungkan
motifnya. Ternyata bunuh diri secara statistik tidak dapat dikatakan sebagai
monomania dan konsekuensinya bukan merupakan suatu penyakit.
B. Tipe-Tipe bunuh diri
Penjelasan
yang terbaik datang dari sosiolog Durkheim yang memandang perilaku bunuh diri
sebagai hasil dari hubungan individu dengan masyarakatnya, yang menekankan
apakah individu terintegrasi dan teratur atau tidak dengan masyarakatnya.
Berdasarkan hubungan tersebut, Durkheim (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003)
membagi bunuh diri menjadi 4 tipe yaitu:
1.
Bunuh diri Egoistik (egoistic suicide).
Ini adalah jenis bunuh diri yang terjadi di mana tingkat integrasi
sosial yang rendah dalam masyarakat. Individu tidak cakap melakukan pengikatan
diri dengan kelompok-kelompok sosial (bergaul/berinteraksi dengan kelompok
sosial/masyarakat). Akibatnya adalah nilai-nilai, berbagai tradisi, norma-norma
serta tujuan-tujuan sosial pun sangat sedikit untuk dijadikan panduan hidupnya.
Dalam masyarakat modern, kesadaran kolektif lemah berarti bahwa orang tidak
dapat melihat arti yang sama dalam hidup mereka, dan mengejar kepentingan
individu tak terkendali dapat menyebabkan ketidakpuasan yang kuat. Salah satu
hasil ini dapat bunuh diri. Individu yang sangat terintegrasi ke dalam struktur
keluarga, kelompok agama, atau beberapa jenis lain dalam kelompok integratif
cenderung menghadapi masalah ini, dan yang menjelaskan tingkat bunuh diri lebih
rendah di antara mereka. Dalam masyarakat tradisional, dengan solidaritas
mekanis, ini tidak mungkin menjadi penyebab bunuh diri. Ada kesadaran kolektif
yang kuat memberikan seseorang atau individu arti/makna bagi kehidupan mereka.
Bagi Durkheim, ini adalah fakta social. Seorang individu tidak pernah
bebas dari kekuatan kolektivitas: ‘Namun seorang pria individual mungkin,
selalu ada sesuatu yang tersisa kolektif – depresi sangat dan melankolis yang
dihasilkan dari individualisme berlebihan yang sama.
2.
Bunuh diri altruistik.
Ini adalah jenis bunuh diri yang terjadi ketika integrasi terlalu besar,
terlalu kuat kesadaran kolektif, dan “individu dipaksa menjadi bunuh diri”.
Integrasi mungkin bukan penyebab langsung bunuh diri di sini, tetapi perubahan
sosial yang sangat tinggi dapat mengakibatkan integrasi ini. Pada tipe kedua,
individu secara ekstrim melekat pada masyarakat dan karena hal inilah dia tidak
lagi memiliki kehidupan pribadinya. Dengan integrasi sosial yang terlampau
kuat, individu tidak lagi dipandang kedudukannya, namun justu dipaksa untuk
tunduk/patuh sepenuhnya pada tuntutan kelompok-kelompok. Contoh : Para pengikut Jim Jones dari Kuil Rakyat atau anggota Kuil
Solar, seperti juga bunuh diri ritual di Jepang. Contoh dalam masyarakat primitif yang dikutip oleh Durkheim adalah
bunuh diri dari mereka yang sudah tua dan sakit, bunuh diri perempuan setelah
kematian suami mereka, dan bunuh diri pengikutnya setelah kematian seorang
kepala suku. Menurut Durkheim jenis bunuh diri sebenarnya mungkin “springs from
hope, for it depends on the belief in beautiful perspectives beyond this life.”
3.
Bunuh diri Anomi.
Anomie atau anomy berasal dari
bahasa Yunani yang berarti pelanggaran hukum. Nomos berarti penggunaan, adat, atau hukum dan nemein sarana untuk
mendistribusikan. Anomy demikian adalah ketidakstabilan sosial yang dihasilkan
dari pemecahan standar dan nilai-nilai. (Webster’s Dictionary). Bunuh diri tipe
ini terjadi karena tatanan, hukum-hukum, serta berbagai aturan moralitas sosial
mengalami kekosongan. Kelemahan aturan sosial antara norma-norma sosial dan
individu dan mesti bisa membawa pada perubahan sosial ekonomi yang dramatis
bagi individu. Atau dengan kata lain, tidak cukupnya aturan yang ada sebagai
‘penampung’ aspirasi individu. Dari sini kemudian terjadilah semacam frustasi
sosial yang kemudian meningkatkan keinginan orang untuk bunuh diri.
Seperti halnya dengan anomi pembagian kerja, ini dapat terjadi ketika
bentuk normal pembagian kerja terganggu, dan “kolektivitas untuk sementara
tidak mampu melaksanakan kewenangan atas individu-individu.” (Ritzer, hal 92).
Hal ini dapat terjadi baik selama periode terkait dengan depresi ekonomi (pasar
modal kecelakaan tahun 1930-an) atau ekspansi ekonomi yang cepat. Situasi baru
dengan beberapa norma, efek regulatif struktur melemah, dan individu mungkin
merasa tanpa akar. Dalam situasi ini, seseorang dapat dikenakan arus sosial
anomik. Orang-orang yang dibebaskan dari kendala menjadi “budak nafsu mereka,
dan sebagai hasilnya, menurut pandangan Durkheim, melakukan berbagai tindakan
destruktif, termasuk bunuh diri dalam jumlah yang lebih besar.” (Ritzer, hal,
92).
Ada empat jenis bunuh diri akibat dari tipe anomik ini, antara lain:
a. Anomi ekonomis akut (acute
economic anomie) yakni kemerosotan secara sporadis pada kemampuan
lembaga-lembaga tradisional (seperti agama dan sistem-sistem sosial
pra-industrial) untuk meregulasikan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial.
b. Anomi ekonomis kronis (chronic
economic anomie) adalah kemerosotan regulasi moral yang berjalan dalam
jangka waktu yang cukup lama. Misalnya saja revolusi industri yang menggerogoti
aturan-aturan sosial tradisional. Tujuan-tujuan untuk meraih kekayaan dan milik
pribadi ternyata tidak cukup untuk menyediakan perasaan bahagia. Saat itu angka
bunuh diri lebih tinggi terjadi pada orang yang kaya daripada orang-orang yang
miskin.
c. Anomi domestik akut (acute
domestic anomie) yang dapat dipahami sebagai perubahan yang sedemikian
mendadak pada tingkatan mikrososial yang berakibat pada ketidakmampuan untuk
melakukan adaptasi. Misalnya saja keadaan menjadi janda (widowhood) merupakan
contoh terbaik dari kondisi anomi semacam ini.
d. Anomi domestik kronis (chronic
domestic anomie) dapat dilihat pada kasus pernikahan sebagai institusi atau
lembaga yang mengatur keseimbangan antara sarana dan kebutuhan seksual dan
perilaku di antara kaum lelaki dan perempuan. Seringkali yang terjadi adalah
lembaga perkawinan secara tradisional sedemikian mengekang kehidupan kalangan
perempuan sehingga membatasi peluang-peluang dan tujuan-tujuan hidup mereka.
4.
Bunuh diri fatalistik.
Aturan sosial adalah sesuatu yang ditanamkan secara lengkap pada
individu. Di sana kemudian tidak ada lagi harapan dari perlawanan perubahan
pada disiplin yang menyesakkan dari masyarakat. Maka bunuh diri dirasakan
sebagai cara untuk lari dari kenyataan ini. “To bring out the ineluctable and
inflexible nature of a rule against which there is no appeal, and in contrast
with the expression “anomy” which has just been used, we might call it fatalistic
suicide”(Durkheim, 239).
C. Alasan Bunuh Diri
Emile
Durkheim merupakan tokoh sosiologi klasik yang terkenal dengan teori bunuh
dirinya. Dalam bukunya “SUICIDE” Emile mengemukakan dengan jelas bahwa yang
menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi social. Teori ini
muncul karena Emile melihat didalam lingkungannya terdapat orang-orang yang
melakukan bunuh diri. Yang kemudian menjadikan Emile tertarik untuk melakukan
penelitian diberbagai Negara mengenai hal ini. Peristiwa bunuh diri merupakan
kenyataan-kenyataan social tersendiri yang karena itu dapat dijadikan sarana
penelitian dengan menghubungkannya terhadap struktur social dan derajat
integrasi social dari suatu kehidupan.
Terdapat
empat alasan orang bunuh diri menurut Emile Durkheim, yaitu:
a.
Karena alasan agama
Dalam
penelitiannya, Durkheim mengungkapkan perbedaaan angka bunuh diri dalam
penganut ajaran Katolik dan Protestan. Penganut agama Protestan cenderung lebih
besar angka bunuh dirinya dibandingkan dengan penganut agama Katolik. Perbedaan
ini dikarenakan adanya perbedaan kebebasan yang diberiakan oleh kedua agama
tersebut kepada penganutnya. Penganut agama Protestan memperoleh kebebasan yang
jauh lebih besar untuk mencari sendiri hakekat ajaran-ajaran kitab suci,
sedangkan pada agama Katolik tafsir agama ditentukan oleh pemuka Gereja.
Akibatnya kepercayaan bersama dari penganut Protestan berkurang sehingga
menimbulkan keadaan dimana penganut agama Protestan tidak lagi menganut
ajaran/tafsir yang sama. Integrasi yang rendah inilah yang menjadi penyebab
laju bunuh diri dari penganut ajaran ini lebih besar daripada penganut ajaran
bagama Katolik.
b.
Karena alasan keluarga
Semakin
kecil jumlah anggota dari suatu keluarga, maka akan semakin kecil pula
keinginan untuk terus hidup. Kesatuan social yang semakin besar, semakin besar
mengikat orang-orang kepada kegiatan social di antara anggota-anggota kesatuan
tersebut. Kesatuan keluarga yang lebih besar biasanya lebih akan terintegrasi.
c.
Karena alasan politik
Durkheim
disini mengungkapkan perbedaan angka bunuh diri antara masyarakat militer
dengan masyarakat sipil. Dalam keadaan damaiangka bunuh diri pada masyarakat
militer cenderung lebih besar daipada masyarakat sipil. Dan sebaliknya, dalam
situasi perang masyarakat militer angka bunuh dirinya rendah. Didalam situasi
perang masyarakat militer lebih terintegrasi dengan baik dengan disipilin yang
keras dibandingkan saat keadaan damai di dalam situasi ini golongan militer
cenderung disiplinnya menurun sehingga integrasinya menjadi lemah.
d.
Karena alasan kekacauan hidup (anomie)
Bunuh
diri dengan alas an ini dikarenakan bahwa orang tidak lagi mempunyai pegangan
dalam hidupnya. Norma atau aturan yang ada sudah tidak lagi sesuai dengan
tuntutan jaman yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Siahaan,
Hotman M. 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah dan Teori Sosiologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar